YOGYAKARTA,KOMPAS.com - 10 tahun silam, tepatnya 27 Mei 2006 Yogyakarta dilanda Gempa dengan kekuatan 5,9 Skala Richer (SR). Guncangan gempa yang terjadi pada pukul 05.55 Wib itu telah meluluhlantahkan bangunan dan menelan ribuan korban jiwa.
Jelang peringatan Gempa Yogyakarta, Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran mengelar napak tilas gempa Yogyakarta 27 Mei 2016.
Turut serta hadir dalam napak tilas tersebut, Gubernur DIY Sri Sultan HB X bersama SKPD Pemda DIY, Bupati Bantul dan para pimpinan Perguruan Tinggi di DIY.
Napak tilas peristiwa gempa Yogya 27 Mei 2006 dimulai dengan mengunjungi pertemuan sungai Opak dan sungai Oya di Dusun Potrobayan, Desa Srihardono, Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
Di lokasi pertemuan sungai Opak dan sungai Oya inilah pusat gempa bumi Yogyakarta 10 tahun silam terjadi. Selain itu, akibat gempa 2006 silam permukaan patahan mengalami penurunan cukup dalam.
Di kesempatan ini, Sri Sultan HB X juga menyempatkan diri berdialog dengan warga Potrobayan, Desa Srihardono, Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul.
Sri Sultan HB X juga menandatangani prasasti Napak tilas Peringatan Gempa Yogyakarta.
Ketua Panitia tapak tilas Gempa Yogyakarta, Prasetyadi mengatakan, acara ini merupakan salah satu bentuk melawan lupa kejadian gempa Yogya. Sebab terkadang masyarakat sering melupakan kejadian alam dan akhirnya kewaspadaan itu mulai luntur.
"Ini sebagai bentuk merawat ingatan bahwa di Yogya pernah terjadi gempa besar. Jangan sampai virus lupa ini menjadikan kewaspadaan perlahan hilang ," ujar Prasetyadi, Sabtu (9/4/2016).
Kaprodi Magister Teknik Geologi UPN ini menjelaskan, Yogyakarta merupakan salah satu wilayah rawan gempa bumi. Secara umum karena wilayahnya berada di dataran yang belum benar-benar solid. Tanahnya di wilayah Yogyakarta merupakan hasil dari proses endapan material Merapi Muda.
"Jadi guncangan Gempa bisa sangat kuat. Sehingga kewaspadaan masyarakat perlu terus ditingkatkan," katanya.
Menurut dia, melihat fakta bahwa wilayah Yogyakarta merupakan daerah rawan gempa maka masyarakat perlu memahami pola hidup di tempat tinggalnya. Memahami pola hidup ini artinya, ketika membangun rumah harus seperti apa karakteristiknya, jangan membangun di dekat sungai atau di dekat Gunung Merapi.
"Jangan menyalahkan alam, tetapi manusia lah yang harus hidup menyesuaikan. Sebab Gempa adalah proses bumi ini bekerja, ikuti saja iramanya," sebutnya.
Seperti halnya masyarakat Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Dimana mereka tidak menyerah dengan peristiwa 10 tahun lalu (Gempa 27 Mei 2016) dan bahkan menjadi titik balik. Itu mengapa Kecamatan Pundong dipilih untuk menjadi lokasi tapak tilas.
"Mereka seakan kenyal dengan peristiwa gempa. Mereka mengalami, memberdayakan diri dan menjadikan bencana untuk bangkit serta hidup dengan meningkatkan kewaspadaan," ucapnya.
Sementara itu, Gubernur DIY Sri Sultan HB X menuturkan peristiwa gempa pada 27 Mei 2006 lalu telah membuat 173.000 lebih rumah warga rusak dan sekitar 101.000 rusak parah.
Peristiwa itu tidak pernah akan ia lupakan. Dirinya masih ingat saat berkeliling ke desa-desa terdampak gempa. Saat berkeliling itu, Sri Sultan mengajak warganya untuk "gumregah" (bangkit) dan mengingatkan ajaran leluhur.
"Kelangan bondo podo karo ora kelangan opo-opo. Kelangan nyowo podo karo kelangan separo, kelangan harga diri lan martabat koyo ilang sak kabehane (Kehilangan harta benda itu sama saja tidak kehilangan, kehilangaan nyawa, kehilangan separuh. Tapi kalau kehilangan harga diri itu kehilangan semua)," kata Sultan.
Grumegah, lanjutnya, merupakan ajakan untuk bersama-sama bangkit dan bergotong-royong. Sebab meski ada bantuan, namun yang bisa menyelesaikan semua permasalahan dan kembali bangkit adalah diri pribadi.
"Saya masih ingat dunia international sampai mengakui bahwa pemulihan pasca gempa 2006 Yogya sangat cepat. Kuncinya adalah bergotong royong," tegasnya.
Namun demikian, gotong royong bagi beberapa orang asing yang belum pernah datang ke Yogyakarta dipandang sebagai pelanggaran HAM. Sebab, warga bersama-sama membangun tanpa dibayar walaupun rumahnya sendiri belum jadi.
"Kenapa tanpa upah ? Itu melanggar HAM, Negara lain itu sampai mengundang saya untuk memberikan penjelasan. Kalau yang sudah pernah ke Indonesia akan tahu apa itu gotong royong," ujarnya.
Usai mengunjungi Desa Srihardono, Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul, Yogyakarta rombongan lantas menuju fenomena geologi sesar Lembangsongo desa Trimulyo, Imogiri Bantul lalu dilanjutkan ke Candi Barong dan Candi Kedulan.
Sumber : http://regional.kompas.com/read/2016/04/09/17080061/Melawan.Lupa.Napak.Tilas.Gempa.Yogyakarta